“Saya melakukan idharul (atau izharul, pen.) Islam karena hanya dengan begitu saya bisa diterima di kalangan primitif, seperti Indonesia.”
(Surat Snouck Hurgronje untuk orientalis Jerman terkemuka yang juga gurunya di sebuah Universitas di Strassbourgh, Theodore Nuldeke).
Orang Aceh, terutama para ulama di Aceh pasti kenal betul dengan orientalis yang satu ini. Bernama lengkap Christian Snouck Hurgronje, lahir pada tanggal 8 Februari 1857.
Menurut catatan Rizki Ridyasmara dalam bukunya “Gerilya Salib di Serambi Mekkah,” menulis bahwa ia adalah anak dari hasil kumpul kebo kedua orangtuanya sehingga menyebabkan kedua orangtuanya ditolak oleh gereja:
“Awalnya, perkawinan kedua orangtuanya itu di dahului oleh hubungan kumpul kebo hingga dikeluarkan dari komunitas Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei 1849. Ketika itu ayah Snouck telah memiliki enam anak.
Kedua orangtua Snouck baru menikah secara resmi tanggal 31 Januari 1855. Jadi, Snouck Hurgronje merupakan anak hasil kumpul kebo kedua orangtuanya. Tak lama setelah menikah secara resmi, setelah menemui proses panjang akhirnya kedua orangtua Snouck diterima kembali dalam komunitas Gereja Hervormd pada tanggal 13 Agustus 1856.”
Setamatnya mempelajari sastra Arab di Universitas Leiden, ia pun mempelajari Islam dan bahasa Arab ke Mekkah, Arab Saudi. Di Mekkah, disebabkan oleh keramahannya dan naluri intelektualnya menyebabkan ulama-ulama disana tidak segan-segan untuk mengajarinya dan tentu saja membimbingnya. Dan, untuk merebut hati para ulama disana, ia pun memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Masuk Islamnya Snouck, tidak lebih dari upayanya untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Hal ini terbukti dengan pengakuan peneliti Ridwan Saidi yang berkunjung ke pemakaman Snouck di Belanda dengan ditemani oleh Kareel Streenbreenk dan Martin Van Bruinesen, kedua orang ini adalah peneliti tentang sejarah Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Menurut Ridwan Saidi yang melihat langsung kuburan Snouck di Leiden, Belanda bahwa Snouck memang tidak dimakamkan secara Islam.
Hal ini sebenarnya wajar, mengingat Snouck adalah juga seorang agnostik (selalu meragukan keberadaan Tuhan dan tidak perduli terhadap agama), meskipun ia beragama Katholik. Dalam sebuah suratnya kepada Teolog Protestan pada zamannya, Herman Bravinck, Snouck menulis:
“…anda memang seorang yang yakin kepada Tuhan. Sedang saya seorang yang skeptis terhadap segala hal…,” tulis Snouck dalam suratnya kepada Teolog Protestan yang juga rekan sekuliahnya di Universitas Leiden.
Setelah sukses mempelajari Islam, ia pun pulang kampung. Kemudian, Snouck Hurgronje di pakai oleh pemerintah Belanda untuk meredam perlawanan rakyat Aceh saat itu yang menyebut Belanda sebagai kafir. Dia di kirim ke Aceh pada tanggal 8 Juli 1891 dan bermarkas di pangkalan militer Belanda di Ulee Lheue.
Pemerintahan Kolonialis Belanda, sebelum kedatangan orientalis ternama yang satu ini, seringkali dibuat repot oleh perlawanan (baca: jihad) rakyat Aceh, yang tidak pernah surut bertempur mengusir Negara kolonialis Belanda dari bumi Serambi Mekkah ini. Taktik Belanda dengan mengirimkan Snouck yang langsung menyamar dan membaur bersama masyarakat Aceh dengan berpura-pura naik haji, ternyata sukses besar menipu rakyat Aceh. Rakyat Aceh terkecoh dengan “keislaman” Snouck Hurgronje.
Pemerintahan Kolonialis Belanda, sebelum kedatangan orientalis ternama yang satu ini, seringkali dibuat repot oleh perlawanan (baca: jihad) rakyat Aceh, yang tidak pernah surut bertempur mengusir Negara kolonialis Belanda dari bumi Serambi Mekkah ini. Taktik Belanda dengan mengirimkan Snouck yang langsung menyamar dan membaur bersama masyarakat Aceh dengan berpura-pura naik haji, ternyata sukses besar menipu rakyat Aceh. Rakyat Aceh terkecoh dengan “keislaman” Snouck Hurgronje.
Saat di Mekkah, Snouck berkunjung ke perkampungan Jawa untuk melakukan penelitian, mencari tahu apa yang sedang berlaku disana. Dalam De Atjehers, ia menjelaskan dari berbagai hal yang dipelajari olehnya itulah lahir kebijakan-kebijakan politik yang mendukung dan melanggengkan penjajahan.
“Kalangan Priyayi diciptakan buat mendukung proses birokrasi. Kelompok penghulu dimunculkan untuk mengurus perkara peradilan Islam, yang telah disesuaikan dengan kepentingan kolonial. Para pejabat pribumi diperintahkan untuk tidak banyak belajar. Yang harus dilakukan adalah memerintah. Maka lahirlah kebebasan beragama dan juga kebijakan yang netral terhadap agama. Sampai saat ini, dua contoh hal ini masih bertahan,” demikian simpul Majalah Islam Sabili.
Selain itu, Snouck yang saat itu menjabat sebagai penasihat untuk urusan pribumi pemerintahan kolonial Hindia Belanda juga berhasil merekrut anak-anak muda yang memiliki bakat dan kecerdasan dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi.
“Meski anak-anak muda yang direkrut tidak banyak, namun Snouck berhasil mempengaruhi pola pikir mereka dengan pola pikir barat dan berhasil menaruh minat mereka pada pendidikan dan kebudayaan Barat. Snouck berhasil mendoktrin anak-anak muda tersebut dengan pemahaman filsafat sosial-liberalis,” tulis peneliti Zionisme di Indonesia, Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi di Indonesia.”
Salah satu keberhasilan Snouck Hurgronje lainnya di Indonesia melalui kajian dan kebijakannya adalah melahirkan dualisme hukum Indonesia. Hukum politik, sosial, ekonomi dan sipil dipisahkan sangat jauh dari hukum budaya dan agama. Ia telah berhasil memisahkan Islam sebagai rujukan kehidupan dalam pola pikir masyarakat Indonesia.
Kajian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje berhasil, bahwa, fatwa-fatwa ulama lah yang membuat rakyat bergerak. Sebagai contohnya di Aceh, Belanda begitu susah payah menaklukkan para pejuang Aceh karena ulama memberikan fatwa bahwa penjajah Belanda adalah kafir harbi yang wajib diperangi. Membunuh Belanda sama dengan ibadah.
Ia juga mencibiri rakyat Aceh di dalam hasil laporannya, Verslag Aceh, yang salah satu poin hasil penelitiannya telah diungkap di atas. Di dalam Verslag Aceh, ia menulis hal-hal yang buruk tentang Aceh dan masyarakatnya. Seperti, masyarakat Aceh biadab, kotor dan suka berhubungan seks liar. Hal ini dibuat oleh Snouck, agar pemerintahan kolonialis Belanda tetap mau (termotivasi) memerangi Aceh dan menaklukkannya.
Berbeda dengan De Atjehers, Verslag Aceh yang berisi tentang alasan-alasan mengapa Aceh harus diperangi, tidak dipublikasikan oleh pemerintahan Belanda. (Fakta dan Data Yahudi Indonesia Dulu dan Kini, hal 95 dan 99).
Tentang Intelektualitas Snouck Hurgronje
Meskipun ia seorang intelektual, namun ternyata, banyak karya-karyanya yang ternyata adalah hasil plagiat. Hal ini didasarkan pada penelitian Dr Van Koningsveld yang menimbulkan polemik sampai tahun 1981. Menurut Koningsveld, Snouck telah menyalin pepatah-pepatah Mesir yang dibuat oleh Abdurrahman Effendi dan mengakui itu adalah hasil karyanya sendiri.
Selain itu, Koningsveld juga mengatakan jika Snouck sebenarnya adalah spion intelektual, yang langsung melakukan perjalanan ke Aceh dalam rangka meneliti tentang Aceh.
“Di antara tahun 1898-1902, SH (Snouck Hurgronje, pen.) melakukan perjalanan ke Aceh sebanyak tujuh kali dan menghabiskan waktu berdiam sebanyak 33 bulan. Selama itu, SH mengambil bagian dalam sejumlah operasi militer , termasuk memimpin suatu dinas intelijen avan la lettre (secara tidak resmi).
Hasilnya SH Berjaya menawan 100 0rang pejuang Aceh. Sumbangan terpenting SH dalam penumpasan Aceh adalah merekonstruksi peta daerah Gayo yang berbukit dan berlembah berdasar informasi seorang cecunguk bernama Djambek alias Nyak Puteh yang menjadi pembantunya. Berdasarkan peta yang dibuat SH, Jenderal Van Daalen melumpuhkan perlawanan Aceh disini,” tulis peneliti Zionisme di Indonesia Ridwan Saidi dalam bukunya Fakta dan Data Yahudi Indonesia Dulu dan Kini(hal. 100), yang mengutip langsung hasil penelitian Dr Van Koningsveld.
Kemudian, dari hasil penelitiannya yang membutuhkan waktu lama ini juga, Dr Koningsveld menarik kesimpulan, jika Snouck lah sebenarnya orang dari pemerintahan kolonialis Belanda lah yang berhasil menaklukkan Aceh, bukan Jenderal Van Heuz.
Namun, mungkin ada juga beberapa orang rakyat Aceh yang tidak mengetahui, jika sebenarnya penelitian rahasia mengenai keadaan obyektif politik dan kehidupan agama Islam di Aceh itu dibantu oleh para asistennya yang adalah asli penduduk Aceh sendiri.
Para cecunguk—memakai istilah Ridwan Saidi—yang membantu kaphe Snouck, selain Teungku Nurdin ada lagi seperti disinggung di atas Djambek atau Nyak Puteh. Lalu, Habib Abdurrahman Al Zahir, Aboebakar Djayadiningrat, Hasan Mustafa dan Habib Osman bin Jahja.
Para cecunguk—memakai istilah Ridwan Saidi—yang membantu kaphe Snouck, selain Teungku Nurdin ada lagi seperti disinggung di atas Djambek atau Nyak Puteh. Lalu, Habib Abdurrahman Al Zahir, Aboebakar Djayadiningrat, Hasan Mustafa dan Habib Osman bin Jahja.
Barangkali, mereka yang membantu Snouck ini membantu dengan sukarela tanpa mengetahui sisi gelap Snouck sendiri. Mereka tertipu daya oleh kedok luar Snouck yang amat baik dan berpura-pura masuk Islam. Atau pun, bisa jadi pula, jika mereka membantu dengan sukarela, yakni dengan mengharap imbalan harta dan jabatan kepada Snouck yang memang adalah seorang pejabat penting di pemerintahan kolonialis Hindia Belanda.
Nah, itulah sosok Snouck Hurgronje yang memang memiliki banyak warna di dalam kehidupan pribadinya.
Di kabarkan selain menikah dengan perempuan Belanda Maria Otter pada tahun 1910 dan dikarunia seorang anak perempuan bernama Christien Maria Otter pada 1912 (Sama halnya dengan ayahnya yang memang tidak masuk Islam, Christien juga dididik secara Katholik dan menikah dengan upacara ala Katholik juga, pen.), Snouck juga menikah dengan seorang putri kepala penghulu Ciamis. Menurut Dr Van Koningsveld, dari perkawinan ini lahir empat orang anak, dua perempuan dan dua laki-laki. Yaitu, Salmah (Emah), Oemar, Aminah dan Ibrahim.
“Dan dekat dengan akhir abad 19, Abdoel Ghaffar Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Siti Sadiyah, putri ulama paling terkemuka di Bandung ketika itu yaitu Kalipah Apo. Perkawinan ini mehirkan seorang putra tunggal yaitu R. Joesoef,” jelas Koningsveld.
Begitulah sekilas otobiografi seorang orientalis yang juga spion intelektual Snouck Hurgronje. Bagi Belanda sendiri, Snouck adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia adalah sarjana yang berhasil.
Tapi bagi rakyat Aceh, Snouck Hurgronje yang lahir di Oosternhott, Belanda adalah penghianat tanpa tanding. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuwan untuk kepentingan politik. Christian Snouck Hurgronje mendekati ulama untuk bisa member fatwa agama. Tapi, fatwa-fatwa tersebut berdasarkan politik adu domba devide et impera.
Snouck Hurgronje meninggal di Leiden pada tanggal 12 Juni 1936 dan dimakamkan di tempat perkuburan umum (TPU) Leiden. (mugiwara no nakama/ Disarikan dari Majalah Islam Sabili dengan penambahan dari berbagai sumber yang penulis cantumkan di dalam tulisan ini).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !