Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.
Apakah seorang anggota suatu harakah Islam dan telah membai'at pemimpinnya dibolehkan melepaskan bai'atnya dari harakah tersebut?
Pertama, apabila seseorang berada dalam posisi yang jika ia tinggalkan harakah Islam tersebut akan mendatangkan suatu kemudlaratan (menurut ketentuan Syara') bagi gerakan, maka dalam situasi seperti ini ia tidak boleh meninggalkannya. Kecuali jika situasi telah berubah, ia boleh meninggalkan harakah Islam tersebut.
Kedua, seorang amir (pemimpin harakah) pada saat tertentu boleh mengizinkan seseorang melepaskan bai'atnya. Tetapi dalam keadaan tertentu pula, ia boleh menolak permintaan tersebut.
Ketiga, apabila orang ingin meninggalkan suatu harakah karena ia menganggap ada aktivitas suatu gerakan dakwah yang lebih benar, maka ia dibolehkan meninggalkan harakah tersebut walaupun amir harakahnya menolak mengizinkan ia melepaskan bai'atnya. Hal ini berlandaskan hadits Rasulullah saw yang berbunyi1):
"Apabila kalian telah bersumpah, kemudian kalian melihat hal yang lebih baik, maka lakukanlah hal yang lebih baik itu. Sedangkan terhadap sumpah, harus dilakukan kafarat".
-------------------
1) Lihat Shahih Bukhari XI/452; Shahih Muslim, No. 1652; Sunan Abu Daud, no. 3277-3278; Sunan Tirmidzi, no. 1529; dan Sunan An Nasaîi VII/10-11.
Bergabungnya seseorang dengan suatu harakah Islamiyah adalah termasuk amal perbuatan yang baik dan mulia. Seseorang yang bergabung dengan harakah tersebut umumnya akan melakukan bai'at terhadap amir /pemimpin gerakan, dan berjanji akan selalu berjuang di bawah kepemimpinan amir tersebut, serta bersumpah untuk mentaatinya dalam batas-batas tertentu. Bai'at ataupun janji yang dikuatkan dengan sumpah dapat dikatagorikan ke dalam makna hadits di atas. Akan tetapi bila tidak dikuatkan dengan sumpah, maka bai'at atau janji tersebut lebih baik ditinggalkan.
Apabila seseorang muslim sudah menjadi anggota suatu harakah /gerakan, kemudian ia yakin terhadap harakah lain karena lebih tepat /sesuai dalam kebenaran, maka syara' mengharuskannya meninggalkan harakah yang pertama lalu beralih kepada harakah yang dianggapnya lebih benar. Jika ia telah bersumpah sebelumnya, maka ia harus melaksanakan kafarat, yaitu memberi makan atau pakaian kepada 10 orang fakir miskin, atau memerdekakan seorang budak /hamba sahaya. Jika ia tidak mampu, maka cukup baginya berpuasa selama tiga hari berturut-turut, sesuai dengan firman Allah SWT:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah). Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarat [melanggar sumpah] itu ialah memberi makan 10 orang miskin, yaitu makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu. Atau, memberikan pakaian kepada mereka. Atau, memerdekakan seorang budak. Siapa saja yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya adalah berpuasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu [yang kamu langgar]. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepadaNya)" (Al Maidah 89). Apabila ia telah melaksanakan bai'at, maka terlebih dahulu ia harus melepaskan bai'atnya. Untuk melepaskan bai'atnya itu, ia diharuskan memberitahu kepada amirnya bahwasanya ia akan meninggalkan /memisahkan diri dari harakah tersebut. Pada saat itu ia harus mengembalikan seluruh barang-barang yang menjadi milik harakah itu jika di sana ia mempunyai kedudukan tertentu. Selain itu, ia diharuskan menjaga rahasia gerakan tersebut selama tidak menyimpang dari syara'.
Jika keberadaan gerakan tersebut merupakan sesuatu keharusan /fardlu atas kaum Muslimin dan keberadaannya di dalam gerakan tersebut juga merupakan fardlu serta sampai saat itu ia belum menemukan adanya suatu gerakan lain yang lebih baik [misalnya keinginan meninggalkan harakah itu hanya sekedar untuk beristirahat sejenak], maka dalam keadaan seperti ini ia tidak boleh melepaskan bai'atnya dan tidak boleh pula meninggalkan gerakan itu. Bahkan bagi pemimpin /amir gerakan tidak dibolehkan mengizinkan orang tersebut melepaskan bai'atnya. Sebab, aktivitas harakah Islam termasuk fardhu kifayah, jika yang diperjuangkan harakah itu adalah sesuatu yang merupakan fardlu kifayah pula di mata hukum syara'. Misalnya, menerapkan syariat Islam melalui sebuah negara, mempersatukan negeri-negeri Islam, menegakkan khilafah Islam, dan sebagainya.
Selama belum ada sejumlah orang yang memenuhi kebutuhan gerakan Islam dan belum tercapai target yang telah ditentukan oleh syara', maka ia harus tetap bergabung dengan harakah tersebut sampai kebutuhan dan targetnya terpenuhi /tercapai. Bahkan, wajib bagi kaum muslimin lainnya bergabung dengan harakah ini setelah dijelaskan kepada mereka masalah kewajiban berdakwah bersama gerakan ini dan mereka merasa puas atas penjelasan tersebut. Apabila mereka tidak bergabung dengan harakah Islam yang keberadaannya adalah fardlu, maka di hadapan Allah mereka telah berdosa.
Dalam masalah bai'at, terdapat perbedaan antara bai'at kepada khalifah dengan bai'at terhadap amir suatu harakah Islamiyah. Bai'at Taat terhadap khalifah merupakan fardhu 'ain atas setiap individu Muslim, bukan tergolong fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw:
"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat kelak tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan pada leher (diri)nya tidak ada bai'at [kepada khalifah], maka matinya sebagaimana mati jahiliyah"2).
Bai'at secara praktis (fi'liyah) untuk mengangkat khalifah hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan keberadaan bai'at (ta'at) atas setiap individu Muslim terhadap khalifah adalah fardhu 'ain. Dalam hal ini, tidak boleh ada keraguan sedikitpun yang disembunyikan oleh seseorang terhadap khalifah, melainkan hanyalah kepuasan hati dan ridla bahwa khalifah yang dibai'at itu adalah amirnya. Ia harus rela dan mentaati apa yang diperintahkan oleh khalifah. Inilah makna tentang wajib adanya bai'at dari setiap individu Muslim.
-------------------
2) Lihat Shahih Muslim, hadits no. 1051.
صحيح البخاري ٤٢٤٨: حدثنا احمد ابن ابي رجاء حدثنا النضر عن هشام قال اخبرني ابي عن عايشة رضي الله عنها ان
BalasHapusاباها كان لا يحنث في يمين حتى انزل الله كفارة اليمين قال ابو بكر لا ارى يمينا ارى غيرها خيرا منها الا قبلت رخصة الله وفعلت الذي هو خير
Shahih Bukhari 4248: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abu Raja' Telah menceritakan kepada kami An Nadlr dari Hisyam dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Bapakku dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa bapaknya tidak pernah berdusta dengan sumpah hingga Allah menurunkan penghapus dosa sumpah. Abu Bakr berkata: 'Tidaklah aku memandang suatu sumpah, lantas kulihat lainnya ada yang lebih baik kecuali aku menerima rukhsah (keringanan) yang Allah berikan (membatalkan sumpah) dan aku melakukan yang terbaik.'