Kiriman Nasroh
Suatu catatan yang ditulis oleh: Azhari
Sudah terlalu sering kita mendengar komentar-komentar para tokoh, Kiai, cendekiawan muslim, berupa: "Kehancuran bangsa ini, karena akhlaq pemimpinnya telah rusak" atau "Anak bangsa ini moralnya telah bobrok" atau "Kita bangun akhlaq, maka kita akan bangkit mengangkat keterpurukan bangsa ini" dan lain sebagainya. Benarkah akhlaq ini sebagai sumber malapetaka keterpurukan umat saat ini? Apakah mungkin, jika akhlaknya dibangun maka umat ini akan bangkit?
Mereka-mereka yang mempunyai alasan keterpurukan umat karena akhlaq, menggunakan dalil-dalil:
Sesungguhnya engkau (muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang agung (Al-Qalam 4).
Aku ini diutus untuk menyempurnakan akhlaq (HR Al-Bazaar).
Maksud surat Al-Qalam ayat 4 diatas adalah:
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlaq Rasulullah, Aisyah menjawab: "Akhlaq beliau adalah Al-Quran" Artinya pernyataan Aisyah bahwa akhlaq Rasulullah saw adalah Al-Quran, bahwa Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan Al-Quran sebagai tabiat, akhlaq dan wataknya. Setiap Al-Quran memerintahkan sesuatu maka beliau mengamalkannya, setiap Al-Quran melarang sesuatu maka beliau meninggalkannya. (lihat tafsir Ibnu Katsir)
Artinya, Rasulullah menjadikan tolok ukur (masdar al-fikr) HALAL dan HARAM dalam setiap gerak langkahnya. Bukan akhlaq yang diartikan secara sempit sebagai jujur, sabar, murah senyum, tidak dengki, dll.
Karena jika dikatakan orang yang jujur berakhlaq baik, sedangkan orang yang berdusta tidak berakhlaq baik. Maka ini tidak tepat, karena berdusta dibolehkan dalam Islam, dalam hal tertentu semisal mendamaikan saudara yang berselisih, suami agar istrinya ridha atau peperangan (al-hadits). Dalam peperangan dibolehkan berdusta, memberikan informasi yang salah kepada musuh, memutarbalikkan informasi tentang posisi dan kondisi pasukan, dll. Artinya, tidak melulu orang yang berdusta dianggap tidak berakhlak baik, selama jujur dan berdusta dilakukan berlandaskan syara'.
Walhasil, pernyataan bahwa akhlaq biang keladi dari permalasahan umat ini adalah tidak tepat, membereskan semua masalah umat dengan akhlaq adalah tidak tepat juga. Pemahaman seperti ini akan mengakibatkan dua hal:
1. Menjauhkan pemahaman umat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (mabda')
2. Mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah dari akhlaq
Menjauhkan pemahaman umat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (mabda')
Kalau kita kaji Islam secara menyeluruh, maka akan kita temukan bahwa Islam mengatur 3 hal:
1. Hubungan manusia dengan Allah
-Aqidah
-Ibadah
2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya
-'Uqubat (sistem sanksi)
-Mu'amalah (perindustrian, pendidikan, kesehatan, sosial, dll.)
2. Hubungan manusia dengan dirinya
-Malbusat (pakaian)
-Math'umat (makanan)
-Akhlaq
Memfokuskan pemahaman hanya pada akhlaq, akan mengakibatkan pemahaman umat menjadi sempit dan seputar akhlaq saja. Sehingga timbul asumsi masyarakat; dengan memperbaiki akhlaq, maka semua permasalahan akan terselesaikan. Atau dengan menyempurnakan akhlaq, maka telah sempurna pula keislamannya. Disamping itu, pengaturan masalah ekonomi (iqtishadi), sosial (ijtima'i), jihad, da'wah, makanan (math'umat), pakaian (malbusat), aqidah, ibadah, dll, pembahasan yang berdiri sendiri dan bukan dalam pembahasan akhlaq dalam arti yang sempit tadi.
Membereskan semua masalah hanya dengan memperbaiki AKHLAQ, sama halnya seperti seseorang membangun rumah dengan berbekalkan sepotong gergaji. Memotong kayu dengan gergaji, mencor lantai dengan gergaji, memasang bata dengan gergaji, memasang ubin dengan gergaji, memasang genteng dengan gergaji. Tentu mustahil memasang setiap bagian dengan satu alat saja, karena masing-masing harus dipasang dengan alat yang khusus.
Jika umat banyak melakukan kesyirikan dan mempercayai tahayul-tahayul, dengan mempercayai ramalam-ramalan para dukun/paranormal, jimat-jimat berupa keris/batu, meminta wasiat kepada kuburan, pemberian sesajen, dll. Maka diobati bukan dengan kajian akhlaq tetapi dengan kajian tentang aqidah dan tauhid. Jika umat terpuruk dengan bergelimang ribawi (bunga bank), maka bukan diobati dengan kajian akhlaq tetapi dengan kajian ekonomi Islam (Iqtishadi). Jika umat terpuruk dengan memilih partai nasionalis dan sekuler, yang tidak mengakui hukum-hukum Allah (syari'at Islam) harus diterapkan dalam bernegara. Maka diobati bukan dengan kajian akhlaq tetapi dengan kajian politik Islam (fiqih siyasah). Begitulah seterusnya.
Kasus yang sama dengan akhlaq adalah, kajian dzikir dan tauhid. Umat yang difokuskan kepada DZIKIR semata dan memperoleh ketenangan batin karenanya, maka ini fokus dalam hal hubungan manusia dengan Allah yakni beribadah kepada Allah. Umat yang difokuskan kepada kajian TAUHID semata, hanya fokus dalam hal hubungan manusia dengan Allah yakni aqidah. Padahal Islam sangat luas cakupannya.
Jika mereka fokus dari satu topik kajian saja, maka mereka mengabaikan hukum-hukum Islam lainnya. Padahal saat seseorang telah baligh, maka ia menjadi mukallaf, yakni ia ditaklif (dibebankan) semua hukum Islam dipundaknya tanpa terkecuali. Ia harus paham sabar, seperti ia juga harus paham bahwa riba haram. Ia harus paham tidak dengki, seperti ia harus paham bahwa menutup aurat wajib. Ia harus paham bersikap jujur, seperti ia harus paham bahwa menerima korupsi/komisi adalah haram. Ia harus paham senyum adalah shadaqah, seperti ia harus paham bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bernegara, dst-nya.
Mengaburkan pemamahan umat tentang nilai ruhiyah dari akhlaq
Terlalu sering kita mendengar ceramah tentang akhlaq dengan kata-kata: "Jika seorang pedagang bersikap jujur, ramah, senyum maka ia memperoleh keuntungan yang besar. Karena pembeli menjadi loyal dan akan kembali lagi membeli kepadanya" atau "Jika seorang dokter murah senyum dan ramah, maka dokter akan beruntung. Karena mempunyai banyak pasien, dan para pasien akan menceritakan lagi kepada pasien lainnya".
Penjelasan seperti diatas tidak salah, tetapi mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah sebuah amal perbuatan. Seseorang yang berbuat karena mencari ridha Allah atau ikhlas karena Allah, ia bersikap jujur karena Allah memerintahkan, ia tidak berbohong karena Allah melarangnya, ia murah senyum karena sunnah Rasul karena senyum itu shadaqah, maka disinilah letak nilai ruhiyahnya dan ia memperoleh pahala karenanya. Tetapi jika ia berakhlaq baik, agar pasiennya lebih banyak, pembeli lebih banyak, memperoleh pujian orang, dst-nya, maka ia hanya memperoleh nilai materi (keuntungan duniawi) semata, ia tidak memperoleh pahala dari Allah.
Khatimah
Keterpurukan umat saat ini bukan disebabkan oleh akhlaq semata, tetapi akibat terlalu jauhnya umat dari pemikiran-pemikiran Islam. Dalam mu'amalah, aqidah, akhlaq, ibadah, math'umat, malbusat dan 'uqubat tidak lagi mengunakan standar (miqyas) Islam. Berekonomi menghalalkan riba, berpolitik machievalis, berpakaian telanjang, berideologikan demokrasi/kapitalis, berakhlaq jahiliyah, berhukum peninggalan Belanda, dll. Sehingga sulit bagi kita membedakan seseorang, apakah Islam atau kafir, ucapan dan perilakunya sama saja dengan orang-orang kafir. Padahal Islam adalah agama yang khas dan akan memancar pada pribadi seorang muslim/muslimah.
Kebangkitan umat (an-nahdah) tidak ditentukan oleh akhlaq, tetapi tergantung pada sejauh mana pemikiran-pemikiran umat tentang Islam (qiyadah fikriyah). Jika umat dalam setiap gerak langkahnya selalu mengacu kepada qiyadah fikriyah yang dipunyainya, yakni Islam, maka umat ini akan bangkit. Saat ia akan berumah tangga, ia pahami bagaimana Islam mengatur sebuah keluarga sakinah (ijtima'i), misal: kewajiban sebagai suami dan istri. Saat ia melakukan transaksi perdagangan, ia pahami bagaimana Islam mengatur transaksi perdagangan (iqtishadi), misal: haramnya riba. Saat ia menjadi karyawan, ia pahami bagaimana Islam mengatur perjanjian kerja (aqad ijarah), misal: haramnya korupsi, komisi, hadiah, dll. Dalam semua hal, umat dalam setiap gerak langkah kehidupannya selalu mengacu kepada aturan mulia dari Allah swt, maka saat itulah kebangkitan umat yang sebenarnya telah terjadi. Dengan kondisi itu, tentu ia ingin Islam diterapkan dalam seluruh sisi kehidupannya, tanpa terkecuali. Baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara.
Karena sebuah masyarakat Islam, bukan ditentukan oleh penduduknya yang mayoritas Islam, bukan karena dinamakan republik/kerajaan/negara Islam, bukan karena diterapkan sebagian hukum Islam dalam hal waris, nikah/rujuk/talak. Tetapi, sebuah masyarakat dapat dikatakan Islam, disaat PEMIKIRAN, PERASAAN dan ATURAN yang berlaku adalah Islam. Jika masyarakat telah mempunyai tolok ukur Islam (pemikiran), tetapi saat ada sekelompok orang berjudi dan mabuk-mabukkan ia masih ridha (perasaan), maka ini bukan masyarakat Islam. Jika ia tidak ridha terhadap perjudian dan mabuk-mabukkan (perasaan) dan tolok ukur ukurnya hanya Islam (pemikiran), tetapi hukum yang berlaku tidak Islam, maka ini juga bukan masyarakat Islam.
Seseorang bersikap jujur, sabar, tidak berbohong, murah senyum, menolong tetangga, dll, karena Allah memerintahkannya dan dicontohkan oleh rasul-Nya. Begitulah pemahaman yang harus diberikan kepada umat. Bukan akhlaq yang bersifat universal dan bernilai materi, karena bisa jadi orang-orang kafir juga mempunyai akhlaq yang baik, mereka jujur, senyum, tidak bohong, tetapi karena landasan aqidahnya telah rusak maka ia tidak bisa dikatakan sebagai individu yang shalih. Apakah kita mau dikatakan: "Dia itu akhlaqnya baik, tetapi tidak shalih"
Wallahua'lam
Maraji':
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Poitik partai, meretas jalan baru perjuangan partai politik Islam - Muhammad Hawari
3. 37 soal jawab tentang ekonomi, politik dan dakwah Islam - Abu Fuad
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !